Tarung Politik Kampung

Layar hitam-putih bergambar suasana pasar: simbah-simbah menggendong bakul dengan kain dan sepeda onthel digulung mengiringi pergantian adegan cerita. Sebelas pemain sandiwara berbahasa Jawa ngoko mengocok perut penonton. Guyonan ala kampung dan terminalan yang muncul, misalnya, sate klatak Pak Bari dilafalkan pelakon dengan “sate klatak Pak Barry”, meniru ucapan bule. Cerita mengalir dan penonton menimpali dengan celetukan-celetukan berbahasa Jawa.

Malam itu tak ada panggung seperti yang biasa dipakai teater di dalam ruangan. Pentas berlangsung di halaman rumah Irvan Muhammad, warga Dusun Sorogenen, Timbulharjo, Sewon, Bantul, Ahad, 13 Mei lalu. Baik kostum maupun properti yang digunakan penampil sederhana. Hanya kursi dan meja dari kayu, tape penyanyi dangdut, payung, alat musik gamelan mini, dan mainan anak-anak berbahan plastik.

Layar dengan visualisasi lukisan kehidupan pasar persis tonil pada ketoprak tobong merupakan karya seni Irvan Muhammad. Penonton bebas duduk di mana saja sesuka hati. Ada yang duduk lesehan, di bawah rindang pepohonan, ada yang duduk di cakruk, di emperan rumah, dan berdiri santai. Lagu-lagu campursari khas Didi Kempot dan hip-hop dangdut NDX AKA yang dibawakan kelompok musik Swara Minoritas dan Wahono Simbah mengiringi pertunjukan sandiwara berbahasa Jawa komunitas Sedhut Senut.

Musik gamelan menambah semarak pentas itu. Suasananya persis pasar malam: tak ada batasan, ramai oleh anak-anak muda, paruh baya, hingga kaum sepuh. Semua tumplek-blek, campur aduk. Elyandra Widharta, penulis naskah berjudul Dumeh, mengatakan pertunjukan Sedhut Senut berhasil mengembalikan romantisisme sandiwara berbahasa Jawa, kesenian tradisional yang semakin ditinggalkan orang di zaman milenial. “Kami ingin sandiwara berbahasa Jawa bergaung lagi. Semacam romantisme,” kata Elyandra.

Konsep pertunjukan Sedhut Senut mengingatkan orang akan ketoprak tobong yang kini semakin langka keberadaannya. Pada 1960-1980-an, ketoprak tobong menjadi tontonan populer. Mereka menggunakan sentuhan estetika tonil yang dipadukan dengan tata lampu. Layaknya ketoprak tobong, pentas Sedhut Senut juga mengandalkan undangan dari masyarakat dari satu kampung ke kampung lainnya. Mereka biasanya ditanggap ketika penduduk punya hajatan, misalnya pernikahan, sunatan, dan peringatan 17 Agustus.
Dumeh, cerita yang dibawakan Sedhut Senut, terilhami oleh falsafah Jawa ojo dumeh yang berarti jangan mentang-mentang. Pertunjukan malam itu berkisah tentang politik lokal di kampung-kampung dan masalah sosial. Tokoh Den Rekso dan Paiman bersaing dalam pemilihan lurah. Den Rekso adalah tuan tanah yang menggunakan kekuasaannya untuk menggusur orang kampung yang menempati tanahnya.

Ia memaksa keluarga Warto dan Waginem menyerahkan anak perempuan mereka, Cunong. Tapi Warto ternyata malah menghamili Cunong. Dalam cerita itu, Cunong adalah seorang penyanyi dangdut yang diperebutkan banyak lelaki. “Saya berdaulat atas tubuh saya sendiri,” kata Cunong dalam bahasa Jawa.

Sedhut Senut menyentil nilai-nilai etis yang seenaknya ditabrak orang. Ayah menghamili anaknya, ini kejahatan yang sering muncul di tengah masyarakat. “Saya memungut cerita dari persoalan di kampung-kampung,” ujar Elyandra.

Di pengujung pementasan, dua calon lurah sama-sama memperebutkan dua penyanyi dangdut untuk menarik simpatisan. Penggunaan penyanyi dangdut ini sering dilakukan di pentas politik daerah dan nasional. Pada akhir cerita, tuan tanah gagal jadi lurah karena terlibat kejahatan. Penyanyi dangdut, Cunong, lari dari rumah. Sedangkan ayah Cunong gantung diri.

Sedhut Senut merupakan kelompok teater yang semula bernama komunitas Sego Gurih. Komunitas ini berdiri pada 1998. Anggotanya berlatar belakang Sekolah Menengah Karawitan Indonesia yang kini berubah menjadi SMK 1 Kasihan, Bantul. Ada juga yang berlatar Jurusan Teater Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

Pendirinya Wage Daksinarga, Eko Nuryono, dan Ibnu Widodo. Komunitas ini sering membuat pertunjukan keliling di desa dan pinggiran kampung. Pentas menggunakan properti minimalis yang biasanya dilakukan di halaman rumah penduduk dan pinggir sawah. Pada 2017, komunitas Sego Gurih berganti nama menjadi Sedhut Senut karena ada persoalan internal komunitas.

Menurut Elyandra, sandiwara berbahasa Jawa pernah berjaya di radio. Sedhut Senut kembali menyuguhkan sandiwara berbahasa Jawa yang bisa ditonton langsung. Bahasa Jawa ngoko dipilih dalam pertunjukan karena lebih egaliter dan mudah dipahami. Cara mengundang penonton untuk datang menonton sandiwara Jawa dahulu menggunakan mobil pikap dilengkapi pelantang suara berkeliling kampung.

Profesor emeritus Universitas Tasmania, Australia, Barbara Hatley, duduk lesehan bergabung dengan penonton, menikmati pertunjukan malam itu. Ia mengikuti proses persiapan pemain, dari ketika pemain merias diri hingga berlatih di menit-menit sebelum berpentas. Ini kedua kalinya Barbara menonton sandiwara berbahasa Jawa. Pada 2014, ia menonton pertunjukan komunitas Sego Gurih di Yogyakarta. “Semangat dan idealisme menghidupkan bahasa Jawa membuat saya terkesan,” kata Barbara.
Penulis buku Javanese Performance on an Indonesian Stage Celebrating Culture, Embracing Change ini melihat ada euforia pasca-reformasi di Indonesia. Pertunjukan-pertunjukan komunitas teater tak lagi sekadar merayakan sesuatu, melainkan secara serius mengangkat realitas politik dalam hubungan sosial. “Tema sosial-politik sulit diangkat pada masa Orde Baru,” kata Barbara. SHINTA MAHARANI (Source : https://koran.tempo.co/read/430927/tarung-politik-kampung?read=true)