PERENCANAAN STRATEJIK KOMUNITAS TEATER SEGO GURIH

KOMUNITAS SEGO GURIH

Komunitas Sego Gurih adalah sebuah kelompok kesenian Teater yang menggunakan bahasa Jawa sebagai alat/media berkomukasi diatas panggung. Sejak awal terbentuk komunitas Sego Gurih sudah berkomitmen untuk selalu menggunakan bahasa jawa sebagai bahasa ungkapnya. Seperti halnya defnisi komunitas yaitu kelompok (sekelompok) orang yang hidup dan saling berkomunikasi disuatu daerah tertentu1, demikian juga Komunitas Sego Gurih didalamnya terdapat orang- orang yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan bersama. Komunitas Sego Gurih berdiri pada tahun 1998 di Sekolah Menengah Kesenian Indonesia Yogyakarta (SMKI) (red : sekarang Sekolah Menengah Kejuruan Negeri Kasihan). Awal berdirinya seluruh anggotanya adalah siswa SMKI jurusan Teater. Kemudian berkembang sampai sekarang menjadi komunitas teater non akademis. Anggota Komunitas Sego Gurih silih berganti mengalami bongkar personil sesuai seleksi alam yang terjadi.

Semenjak berdirinya dan setiap membuat produksi pementasan, peran sutradara masih dipercayaka kepada Wage Daksinarga. Tak luput pula yang mendasari dan meng influence Komunitas Sego Gurih selama menjelajahi kreatifitasnya adalah teater Gapit Surakarta pimpinan Bambang Widoyo SP yang juga menggunakan bahasa jawa dalam pementasan teaternya. Dalam perkembangannya kounitas Sego Gurih memang selalu dibayang- bayangi oleh teater Gapit (sekarang sudah bubar), hampir semua naskah Gapit sudah dipentaskan oleh sego gurih hanya tinggal 2 naskah saja yang belum dipentaskan, yaitu Reh dan Tuk

Dalam wawancara oleh majalah scana (blog) Wage Daksinarga menjelaskan lebih lanjut tentang Komunitas Sego Gurih :

Awal berdirinya saat saya sekolah di SMKI. Ya, dulu kayak ada semacam kecemburuan. Anak-anak jurusan teater itu kan selalu dikalahke sama jurusan tari, pedalangan, dan karawitan; termasuk saat ujian pementasan. Lha lama-lama kita kurang puas dengan pementasan-pementasan di kampus, terus mulai pentas di luar dengan sangat sederhana. Awalnya ya pentas di pinggir rumah, di pinggir sawah, di acara pernikahan, di perpisahan KKN. Prinsipnya temen-temen punya ruang untuk bermain, gitu aja…Di awal-awal Sego Gurih yang terjadi seperti itu. Itu sekitar tahun 1996. Yang sedari awal di Sego Gurih ya saya dan Gundul. Kebetulan juga rumah Gundul di daerah Imogiri menjadi tempat berlatih dan berkumpul Komunitas Sego Gurih2.

SEGO GURIH YANG FILOSOFIS

Bagi orang Jawa khususnya, tentu istilah sego gurih sudah sangat akrab betul ditelinga. Sego gurih hampir sering dijumpai dalam berbagai acara adat (ritual) orang- orang Jawa. Nasi yang diolah dengan santan dan membuat nya menjadi gurih. Bagi Komunitas Sego Gurih, nama Sego gurih yang dalam bahasa Indonesia berarti nasi uduk itu memunyai filosofi yang sangat dalam. Tanpa lauk, sego gurih ternyata sudah enak, dan dapat dinikmati, hal inilah yang kemudian membuat Komunitas Sego Gurih jadi anti kemapanan (bukan berarti menolak kemapanan lho), jika memang tidak ada lampu atau peralatan yang lainnya, pentas Komunitas Sego Gurih pun tetap akan berjalan. Komunitas Sego Gurih bertolak dari apa yang ada.

PERJALANAN KOMUNITAS SEGO GURIH

Komunitas Sego Gurih identik dengan Wage Daksinarga dan Ibnu Gundul. Mereka berdua ini lah yang selama ini memberikan nafas bagi perkembangan Komunitas Sego Gurih, meskipun tidak dipungkiri ada banyak anggota yang keluar masuk, hal ini dikarenakan Komunitas Sego Gurih tidak mengikat Anggota- anggotaya, Komunitas Sego Gurih terbuka bagi siapa saja. Jika ditelusur, perjalanan komunitas Sego Gurih sudah mengalami 3 fase.

1. Fase Kelahiran (1996 – 2001)

Fase pertama ini bisa dikatakan fase kelahiran komunitas Sego gurih, anggotanya masih didominasi oleh civitas SMKI, dan Wage masih dipercaya sebagai sutradara, naskah- naskah yang dibawakan didominasi oleh Naskah Gapit, meskipun ada beberapa karya selain Gapit yang menggunakan bahasa Jawa. Jika awalnya pementasan hanya sekedar mengisi ruang dan waktu anggotanya, baik pentas dipinggir sawah, pinggir rumah, acara pernikahan, perpisahan KKN, atau yang lainnya, pada saat itu komunitas Sego Gurih mulai berani mengusung pementasannya di gedung kesenian.

2. Fase Perjalanan (2001 – 2003)

Komunitas Sego Gurih terus tumbuh dan berkembang, beberapa anggota mulai melepaskan diri, shingga hanya tertingal Wage dan Gundul yang berbendera SMKI. Mereka kemudian merekrut anggota lain dengan berbagai macam latar belakang, yang kemudian terseleksi oleh alam dengan sendirinya. Ibarat pelangi, anggota Komunitas Sego Gurih kini penuh warna. Pada Fase ini Wage masih dipercaya untuk meyutradarai, Naskah Gapit masih dominan, meskipun ada beberapa naskah lain yang bukan Gapit.

3. Fase Establish (2003 – sekarang)

Pada Fase ini, Komunitas Sego Gurih sempat vakum beberapa tahun. Kevakuman itu disebabkan oleh kesibukan Wage dan personil Sego Gurih yang lain dalam pekerjaannya masing-masing. Baru pada tahun 2009 kembali bernafas lagi dan menggelar pementasan KUP yang naskahnya ditulis oleh Wage, Komunitas Sego Gurih mulai melepaskan bayang- bayang Wage terutama sebagai sutradara, Wage menyatakan berhenti menyutradrai, ia kemudian lebih fokus pada penulisan Naskah dan keluarganya. Posisinya kini sebagi Konsultan, dan sutradara salah seorang dari angota yang ditetapkan dan disepakati bersama.

Kini motor Komunitas Sego Gurih tinggal Gundul dan dibantu oleh Ely Andra Widharta dan Ucup Peci miring. Anggota lain bersifat fleksible bisa masuk dan keluar sesuai dengan kebutuhan dan tidak mengikat. Pada fase ini Sego gurih mulai mencari bentuknya yang establish yang mencirikan Komunitas Sego Gurih yang sesungguhnya. Struktur organisasi Komunitas Sego Gurih relatif sederhana. Cukup Ketua, Sekertaris dan Bendahara.

Ketua yang kini dijabat oleh Ely Andra bertanggung jawab terhadap perkembangan, dan maju mundurnya komunitas, ia sebagai motor penggerak anggota- anggotanya. Ketua sekaligus jadi motor penggerak anggotanya.

Bendahara (Ucup Peci Miring) mencatat pemasukan dan pengeluaran uang, ia sangat mengetahui betul kondisi keuangan. Bendahara berwenang untuk mengajukan jumlah nominal uang sebagai modal awal untuk setiap kali proses pementasan ( produksi)

Humas (Gundul) menjalin hubungan dengan instansi maupun perorangan yang selama ini telah bekerja sama dengan komunias sego gurih dalam setiap pementasannya, ia juga yang mendokumentasikan semua arsip- arsip bersama bendahara.

MANAGEMEN KOMUNITAS SEGO GURIH

1. Managemen Pemasaran

Pemasaran yang selama ini dilakukan lebih bersifat publikatif, biasanya dilakukan menjelang pementasan yang diadakan oleh komunitas Sego Gurih sendiri. Bentuk- bentuk publikasi berupa poster, spanduk, flier yang disebarkan (ditempel, dipasang) ditempat- tempat yang strategis, juga membuat publikasi lewat media massa, baik cetak maupun elektronik. Setiap kali melihat pementasan komunitas Sego Gurih dibagikan booklet tentang isi cerita, kerabat kerja pendukung, juga informasih tentang komuniitas Sego gurih lainnya.

2. Managemen Keuangan

Aktivitas keuangan pada komunitas Sego Gurih, ditangani oleh bendahara. Pencatatan uang masuk dan keluar dilakukan secara cermat. Bendahara produksi (pementasan) berbeda dengan bendahara Komunitas. Biasanya apabila akan memproduksi sebuah pementasan, ditunjuk Pimpinan Produksi yang kemudian akan memilih bendahara untuk mengatur sirkulasi uang, Dana produksi berasal dari kas Komunitas, atas persetujuan ketua, bendahara memberikan dana awal yang digunakan untuk membuat proposal guna mengajukan proposal kepada sponsor. Diharapkan setelah pementasan selesai ada dana yang tersisa yang kemudian dikembalikan pada kas komunitas untuk pementasan- pementasan selanjutnya ataupun untuk honorarium pementasan. Honorarium yang diterimakan selama ini belumlah layak untuk ukuran sebuah pekerjaan, apalagi pekerjaan yang berhubungan dengan seni. Tapi bukan berarti hal tersebut membuat komunitas Sego Gurih patah arang dan tidak berkreatifitas lagi. Untuk saat ini nominal uang belum sepenuhya menjadi ukuran untuk tiap- tiap anggotanya, bahkan banyak juga anggota yang sering malah tombok. Saat ini bagaimana mereka menghidupi kesenian, bukan kesenian yang menghidupi mereka, meskipun tidak dipungkiri bahwa orientasi kedepan komunitas Sego Gurih tetap menuju kesana. Informasi tentang perkembangan keuangan selalu dilaporkan oleh bendahara setiap ada pertemuan

3. Managemen Sumber Daya Manusia

Sesuai kesepakatan bersama setiap anggota akan mendapatkan honorarium pada pasca pementasan, itupun fluktuatif, belum ada standar yang jelas untuk nilai nominal honorarium. Tergantung berapa keuntungan yang didapat setiap kali pentas.

Proses perekrutan anggota sangat fleksibel, biasanya terjadi apabila komunitas Sego Gurih akan membuat sebuah pementasan, karena motor komunitas ini hanya ada tiga orang ( Gundul, Ely dan Ucup) maka mereka selalu mengajak orang orang yang pas sesuai dengan bidangnya (pemain, crew produksi) untuk diajak berproses (produksi pementasan). Ikatan ini tidak kemudian mengikat orang- orang yang kemudian terlibat untuk membantu selamanya, mereka diberi kebebasan untuk memilih. tetap bertahan atau sebaliknya.

Gaya kepemimpinan yang dimliki oleh pimpinan komunitas :

  • Informal, egaliter dan seperti teman (sahabat)
  • Mengontrol dan bertanggung jawab terhadap kelangsungan pementasan, bahkan terkadang ikut terlibat dalam pementasan tersebut, baik sebagai pemain ataupun staf produksi.
  • Menguasai masalah, paham akan kegiatan yang dilakukan, daya kreatifitas tinggi
  • Cukup tegas dalam mengambil keputusan, akan tetapi kurang tegas dalam menyikapi sikap para anggotanya yang terkadang malas- malasan saat berproduksi, ataupun skeptis dalam menanggapi permasalahan. Semisal tidak setia pada jadwal latihan. Hal ini dikarenakan pemimpin menyadari ikatan antar personal yang hanya terjalin karena satu komitmen yaitu sama- sama ingin menjaga eksistensi Komunitas Sego Gurih, dan ukuran hal tersebut masih belumada standarisasinya.

Steakholder

StakeHolder (pemangku kepentingan) mempunyai peran yang penting dalam perkembangan sebuah orgnisasi (komunitas Sego Gurih). Setelah mencermati dengan seksama penulis dapat menyimpulkan stakeholder- stakeholder yang dimiliki komunitas Sego Gurih yaitu :

Stakeholder Harapan Kontribusi/Dukungan
Pemerintah Provinsi Melestarikan budaya, bahasa Jawa

Melestarikan seni tradisi

Aset sanggar seni

Pendanaan

Fasilitas

Promosi

Akses perijinan

Pemerintah Kabupaten Melestarikan budaya bahasa Jawa

Melestarikan seni tradisi

Aset sanggar seni

Pendanaan

Fasilitas

Promosi

Akses perijinan

Penonton pementasan Hiburan bermutu, segar, menghibur dan suasan yang menyenangkan Menjadi penonton setia

Membeli karcis

Mempromosikan komunitas

Sponsor Jumlah penonton yang sesuai dengan target pasarnya

Publikasi produk

Pendanaan

Fasilitas

Promosi

 

Anggota Pementasan sukses

Menjadi komunitas yang besar

Mendapatkan honorarium yang pantas

Berlatih dengan serius

Bermain dengan total

Masyarakat setempat Komunitas bisa mengembangkan bakat seni dan kepribadian anak, pemuda dan seluruh warga Dana dan fasilitas

Menjadi anggota

Menjadi penonton

Memberikan kenyamanan saat berlatih dan tempat berorganisasi

Tukang parkir Pementasan dihadiri banyak penonton

 

Menjaga kendaraan dengan aman, sehingga penonton dapat menonton dengan nyaman
Penjual makanan Pementasan dihadiri banyak penonton

 

Menjajakan dagangan untuk para penonton ang dating, sehngga masalah konsumsi dapat tetratasi

Sejauh ini berbagai harapan stakeholder sudah hampir semua dapat dilaksanankan dan dikelola dengan cukup baik, yang perlu dikembangkan adalah menjaga dan lebih meningkatkannya menjadi lebih baik.

Misi

Misi sangat penting dalam sebuah organisasi, bisa dikatakan misi adalah sebuah fondasi bagi organisasi. Dengan adanya misi apa maksud keberadaan dan peran/ fungsi organisasi itu dapat terjawab. Organisasi juga dapat memilih bidang kegiatan, memilih segmen masyarakat yang dituju, menetapkan siapa saja yang boleh bergabung dengan oragnisasi, mentapkan nilai- nilai yang dianut, menetapkan strategi yang akan ditempuh, menetapkan dengan siapa akan bekerja sama dan misi juga berfungsi untuk motivator dasar dalam menjalankan organisiasi.

Untuk menentukan Misi dalam sebuah Organisasi kita dapat menerapkan formula 3 W + 1H (What, Who, Why, How) yaitu, (1)What, apa bidang kegiatan kita, (2)Who, siapa yang dilibatkan, (3)How, cara dan prinsip melaksanakan kegiatan, (4)Why, alasan mendirikan kegiatan.

Dari data yang diperoleh Misi Komunitas Sego gurih adalah :

  • Turut serta mengembangkan dan melestarikan bahasa jawa melalui pementasan teater
  • menjadi wadah bagi para seniman untuk meningkatkan apresiasi, keterampilan, kreativitas, wawasan khususnya taeter berbahasa jawa.
  • Meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kesenian teater berbahsa Jawa

Visi

Tanpa visi sebuah oranisasi dianggap tidak mempunyai tujuan, visi merupakan pernyataan tentang cita- cita, keinginan atau harapan mengenai bentuk dan karakteristik sebuah organisasi dikemudian hari (masa depan). Visi menjadi pedoman dalam menetapkan sasaran jangka panjang maupun jangka pendek.

Dari data yang didapat, visi komunitas sego Gurih adalah :

  • Menjadi komunitas teater berbahasa jawa yang mandiri dan professional
  • Sebagai pusat kajian, pelatihan, pagelaran dan industri tater berbahasa jawa di Indonesia

Tolak ukur keberhasilan

Misi dan visi Ukuran keberhasilan
Misi
Turut serta mengembangkan dan melestarikan bahasa jawa melalui pementasan teater Jumlah naskah jawa yang sudah dipentaskan

Jumlah naskah yang dibuat dan dipentaskan

menjadi wadah bagi para seniman untuk meningkatkan apresiasi, keterampilan, kreativitas, wawasan khususnya taeter berbahasa jawa Jumlah anggota

Jumlah aktor dan pendukung pementasan yang berkualitas

Meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kesenian teater berbahsa Jawa

 

Frekwensi pentas ditingkat local, nasional, maupun internasional
Visi
Menjadi komunitas teater berbahasa jawa yang mandiri dan professional Jumlah dana yang dikelola

Pertanggung jawaban pengelola keuangan

Jumlah dan kondisi sarana dan prasarana yang dimiliki

Frekewensi pentas ditingkat nasional maupun internasional

Tingkat kepuasan pimpinan dan anggota komunitas

Sebagai pusat kajian, pelatihan, pagelaran dan industri teater berbahasa jawa di Indonesia jumlah karya teater berbahasa jawa yang didokumentasikan dan dikuasai.

jumlah karya (naskah) yang berhasil diciptakan dan dipentaskan sendiri (bukan naskah milik orang lain)

jumlah anggota yang bergabung

jumlah aktor, pendukung yang berkualitas.

Jumlah keikut sertaan dalam sebuah festival

Jumlah keikut sertaan pada even tertentu

 

Pencapaian Komunitas Sego Gurih sampai tahun 2010

1998 : ”LENG” karya Bambang Widoyo Sp (Oktober)

ROL” karya Bambang Widoyo Sp

1999 : ”Anusapati” karya SH Mintardja

LENG” karya Bambang Widoyo Sp ( Juli, November)

2000 : ”DOM” karya Bambang Widoyo Sp (Juli)

2001 : ”Suk-SukPeng” karya Bambang Widoyo Sp (Maret,April)

”Balada-Balda Perempuan Tercinta” (Agustus)

”LENG” karya Bambang Widoyo Sp (November)

2002 : “Suk-Suk Peng” karya Bambang Widoyo Sp (Juli)

“Lampor” karya Angger Jati Wijaya (Desember)

2003 : ” Suk-SukPeng” karya Bambang Widoyo Sp (Agustus)

2009 : ”KUP” karya Wage Daksinarga (Februari, Juni, Oktober 6X pementasan )

2010 : ”Suk-Suk Peng” karya Bambang Widoyo SP (Juli sampai 5 X pementasan)

2010 : ”Ande-Ande Lumut” Solidaritas Kesenian Peduli Pengungsi Merapi – Ketoprak Mbarang di 6 Posko Pengungsian Merapi daerah Sleman, Muntilan dan Magelang.

SWOT

Swot adalah sebuah analisis yang digunakan untuk menyusun rencana Stratejik, analisis swot dibagi menjadi 2 lagi yaitu analisis eksternal dan internal :

1. Analisis Eksternal

Dengan analisis eksternal dapat diketahui peluang dan ancaman yang akan dihadapai oleh sebuah organisasi. Peluang yang dimaksud adalah kondisi yang menguntungkan, sedangkan ancaman yang dimaksudkan adalah kondisi yang merugikan

2. Analisis Internal

Dengan analisis internal dapat diketahui kekuatan dan kelemahan yang akan dihadapai oleh sebuah organisasi.

Matriks SWOT Kekuatan (S)

01. Satu- satunya teater yang menggunkan bahasa Jawa

02. Penonton semua segmen

03. Pementasan yang diadakan ditempat terbuka,

tanpa perlu tiket masuk

04. Ide cerita segar, ringan up to dates pada situasi

yang ada

05. Pemain adalah aktor- aktor yang sudah mumpuni

06. Memiliki penata musik dan penata artistik yang

sudah mumpuni dibidangnya

07. Melibatkan masyarakat sekitar ketika pentas

08. jejaring semua anggota yang kuat

09. Didukung Pemda setempat

Kelemahan (W)

01. Administrasi keuangan

02. ketergantungan pada donatur

03. keterbatasan dana

04. Sarana dan tempat latihan

05. Kata- kata vulgar sering muncul dalam setiap

Pementasan

06. Keluar masuk anggota mudah

07. Segmen lokal jawa

08. Dokumentasi karya

09. kesejahteraan

10. Ketergantungan pada Pendiri (Wage, Gundul)

11. Memainan naskah orang lain

Peluang (O)

01. Kemudahan perijinan pementasan

02. Peningkatan jumlah kesenian tradisi untuk membuat

pementasan

03. Banyaknya jumlah anak- anak yang sejak kecil

mengenal bahasa jawa

04. Banyaknya sesepuh pencinta bahasa jawa yang

membantu

05. Banyaknya pemuda yang suka terhadap kesenian

06. Aset yang dimiliki daerah setempat

SO Strategy

01. melakukan kerja sama dengan sekolah- sekolah

untuk mengadakan pementasan dan pelatihan

(workshop) teater berbahasa Jawa (s1, s2, s3, s6,

s7, s8, s9, O1, O3, O5, O6)

02. Meningkatkan jumlah pementasan (s1, s2, s3, s4,

s5, s6, s7, s8, s9, O1,O2, O3, O4, O5, O6)

03. Merangkul Seniman yang mumpuni (senior)

untuk terlibat dalam pementasan dan

kelangsungan komunitas(s1,s4,s7,s8,s9,O4, O6)

04. menambah jumlah anggota dengan komitmen

yang jelas ( s1, s4, s6, s8, s9,O3, O4, O5, O6)

WO Strategy

01. mencari sponsor yang sejalan dengan

komunitas dan mau mendukung (memberikan

support) dalam jangka panjang dan menjalin

hubungan yang baik (w1,ws2, w3, w4, w9,

O1,O6)

02. menambah jumlah anggota dengan komitmen

yang jelas ( w6, w9, w10, w11, O5, O6)

03. melakukan pembenahan dibdiang kearsipan dan dokumentasi ( w8, O6)

Ancaman (T)

01. Persaingan antar sanggar- sanggar teater makin

ketat

02. Krisis ekonomi yang menurunkan pendapat

ekonomi masyarakat dan meningkatkan biaya

produksi pementasan

03. Keterbatasana bahasa tidak semua orang bisa

memahami bahasa jawa

04. Rendahnya kesadaran tentang pentingnya bahasa

jawa adalah bahasa yang perlu dilestarikan

 

(nguri- nguri kabudayan)

ST Strategy

01. memprakarsai festival- fesival teater berbahasa

Jawa (s1, s2, s3, s4, s8, s9, T1, T2, T4

02. melakukan kerja sama dengan sekolah- sekolah

untuk mengadakan pementasan dan pelatihan

(workshop) teater berbahasa Jawa (s1, s2, s3, s6,

s7, s8, s9, T2, T4)

03. mencari sponsor yang sejalan dengan komunitas

dan mau mendukung (memberikan support)

dalam jangka panjang dan menjalin hubungan

yang baik (s1,s2,s3,s4,s5, s6, s7, s9,T1,T2, T4)

04. mendata penonton dan membuat jaringan dengan

selalu memberi informasi tentang semua kegiatan

(s2,s3, s4, s5, s6, s7, s8, T1, T2, T3, T4)

WT Strategy

01. melakukan pembenahan administrasi

keuangan (w1, w2, w3, w9, T1, T2)

02. membuat dan mementaskan naskah sendiri

(w10, w11, T01, T02, T04)

03. Mematenkan bahwa komunitas Sego Gurih

Cuma satu satunya teater yang menggunkan

bahasa jawa (w7, T1, T3, T4)

 

Philipus Nugroho Hari Wibowo SSn, Staf Pengajar Jurusan Teater ISI Yogyakarta

 

Daftar Pustaka

1Surayin, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Bandung , Yrama Widya, 2001 hlm 250

2 Blog skana

Sistem Tanda Kata dalam “Suk-Suk Peng Disuk-suk Jadi Gepeng ”

Senyum Grace untuk Clue sutradara

Malam hari ini cerah, langit penuh bintang bertaburan, cahaya sinar purnama lembut menerpa Balai Budaya Tembi yang malam itu menggelar sebuah Reportoar Teater berbahasa Jawa oleh Komunitas Sego Gurih yang berjudul “Suk- Suk Peng” Para penonton cukup banyak memenuhi pelataran pendopo yang sebagian besar duduk lesehan di tikar. Grace yang duduk disamping ku nampak antusias menunggu pentas ini berlangsung. Wajahnya berharap-harap cemas. Binar matanya menyorotkan sejuta keingintahuan. Berkali-kali ia mengucapkan “suk- suk peng”, mencoba memfasihkan dialeknya yang agak sengau, kebarat-baratan. Ia sering tersenyum sendiri ketika salah atau fals mengucapkannya. Aku yakin saat ini pasti otak yang ada di kepalanya sedang berkontraksi untuk mencari tahu makna dari kata “suk- suk peng”, ini.

Hmm.. ternyata judul benar-benar mempunyai arti penting. Judul bisa memberikan gambaran, seperti apa pertunjukan teater berbahasa Jawa ini akan ditampilkan, seperti halnya konsep semiotik Peirce yang mengatakan bahwa tanda mengacu pada sesuatu yang disebut objek. Yang disebut objek adalah yang mewakili atau menggantikan. Judul pementasan “Suk- Suk peng” ini bisa dikategorikan sebagai objek yang kemudian menggantikan atau mewakili sebuah karya dalam hal ini pertunjukan teater. Pierce kemudian membedakan fungsi referensial antara tanda dengan acuan melalui triadik yaitu ikon, indeks, dan simbol . Judul dalam hal ini dikategorikan sebagai ikon. Ya, pertunjukan teater sepertinya sarat dengan tanda- tanda (semiotik), hal tersebut diungkapkan oleh Veltrusky seorang strukturalis dari kelompok Praha ia menetapkan bahwa segala sesuatu yang dalam kerangka teater pada dasarnya merupakan kumpulan tanda-tanda. Hal serupa juga dikatakan oleh Tadeuz Kowzan seorang semiotis strukturalis, bahwa kaitannya dengan semiotisasi objek, maka segala sesuatu yang ada dalam presentasi teater adalah tanda.

Pencarian makna judul “suk- suk peng” yang dilakukan Grace akhirnya mendapatkan titik terang ketika pada adegan pembuka (prolog) seluruh pemain muncul dan duduk berjejer, mereka kemudian saling mendorongkan bahu mereka kekanan dan kekiri sambil bernyanyi ,”Suk-suk peng sing didhesuk gepeng.” Artinya suk-suk peng yang didesak gepeng. Gerakan suk-sukan ini dilakukan seirama dengan irama lagu suk-suk peng yang dilantunkan para pemusik. Suk- Suk Peng adalah nama permainan tradisional anak-anak Jawa di masa lalu. Permainan ini melibatkan lebih dari dua orang yang melakukan kegiatan ”suk-sukan” ’berdesakan’ dengan saling mendorongkan bahu mereka ke kanan dan ke kiri. Grace tersenyum penuh makna, mendapat clue dari sutradara tentang arti judul pertunjukan ini. Ia serasa mendapat tiket untuk menembus babak berikutnya. Menurut aliran semiotik komunikasi yang merupakan perkembangan dari semiotik Saussure interprestasi sutradara dalam permainan suk- suk peng” yang ditampilkan dipanggung tidak hanya mempunyai arti denotasi yaitu permainan tradisional saja, akan tetapi mempunyai arti konotasi yaitu simbol sebuah masyarakat (kaum marjinal) yang selama ini digusur (disuk- suk) hingga tak berdaya (gepeng).

Sambil menikmati para pemain yang bersuk- suk peng obrolan kami berlanjut tentang tradisi teater barat pada abad ke 20 dan hingga kini terus terjadi, bahwa tanggung jawab atas pengorganisasian sistem tanda dalam teater ada pada seorang sutradara. Pada satu sisi dramawan adalah pencetus sistem tanda kebahasaan, sedangkan sutradara memegang kontrol atas bentuk teater dengan tugas mengorganisasi sistem penandaan dalam teater (lighting, dekor, property dan lain- lain) kedalam suatu proses termodifikasi yang selaras dengan suatu teks. Kami sepakat clue yang baru saja diberikan oleh sutradara tentang suk- suk peng adalah salah satu hal yang dilakukan oleh sutradara pentas malam ini dalam mengorganisasikan sistem tanda. Jika dilihat dari penulis naskahnya, yaitu Bambang Widoyo Sp, sejauh ini naskah- naskah yang ia ciptakan sebelum ia meninggal dunia memang kental dengan bahasa Jawa (Solo) dan kritik social yang biasanya dimainkan oleh Gladi Teater Gapit. Naskahnya terkesan vulgar, karena tak jarang kata- kata yang seronok, yang berupa makian sering ikut eksis dalam panggung. Maka gambaran tentang sebuah sajian yang sarat dengan kritik sosial kemudian menyeruak dikepala kami berdua. Pertanyaan berikutnya, Kritik sosial yang bagaimana yang akan disampaikannya dalam naskah “suk- suk peng” ini?

Setelah adegan pembuka, lampu perlahan redup kemudian gelap, kulirik sebentar ke arah Grace, karena purnama, wajahnya samar- samar masih dapat aku pandangi, ia nampak tenang dan santai, tapi matanya yang biru tampak begitu menyelidik, sepertinya ia memang menyiapkan dirinya untuk melihat pertunjukan ini. Kalau sudah begitu biasanya sesudah pertunjukan selesai kami akan berdiskusi di angkringan Lik Min Bugisan. Hmm… Aku juga harus memiliki bekal untuk bahan diskusi nanti. Aku yakin dan mantap, kali ini aku akan melihat sistem tanda- tanda semiotik menggunakan teori Tadeuz Kozman yang katanya paling simple dan mencerminkan arus pemikiran strukturakisme Praha, meskipun aku tahu masih banyak tokoh- tokoh semiotik teater yang lain seperti halnya Keir Elam yang aku kagumi, Aston dan Sonova, A.J Greimas J. Veltrusky juga yang lainnya.

Menonton bersama Kozman

Kozman membagi sistem tanda dalam pertunjukan teater menjadi 13 sistem tanda . Yaitu kata, nada, mime, gesture, gerak, make up, hair style, kostum, properti, setting, lighting, musik, sound effects.

Menurutnya, kelompok kata, nada, mime, gesture, gerak, make up, hair style, kostum,adalah sistem tanda yang berhubungan langsung dengan aktor, sedang sisanya adalah sistem tanda yang berada diluar aktor.

Kutarik nafasku dalam- dalam, kutahan sebentar, kemudian kuhembuskan perlahan sambil merapal doa. Huuuh.. Aku mulai menyiapkan diri untuk mengapresiasi pertunjukan ini dengan Kozman yang meluruh bersamaku. Kupikir- pikir, sepertinya aku akan menggunakan satu sistem tanda saja supaya lebih fokus dalam mengamati pertunjukan ini, yaitu kata, meskipun sebetulnya aku agak tergoda dengan konsep pemilihan pertunjukan yang ada dipendopo apalagi ternyata panggung terdiri dari dua bagian, yang satu didalam Penopo dan sekitaranya sedang yang satu lagi diluar pendopo, tepatnya dibelakang penonton, aku yakin penonton harus sering membalik badan untuk mengikutinya. Belum lagi benda- benda yang ditaruh pada setting, seperti lesung yang digunakan sebagai kursi, juga seng- seng yang sengaja ditempel, kemudian….ee.eee.. ups…! betulkan, aku hampir tergoda.. jika diterus- teruskan..

Lampu perlahan- lahan mulai menyala disertai bunyi sound effects hujan, penonton terbawa suasana hujan, Suasana hujan dikuatkan dengan sistem tanda kata oleh Pelok situkang Koran dan Emak si tukang kerok.

Pelok : silit- silit..! udan kok ngrusakke acara, bras- bres sak geleme dewe,

kacau- kacau! bubrah kabeh mak daganganku.

Emak : lha iya, klambiku teles kabeh untung nganggo jaket, udan kok koyo ngene derese.

meskipun tanda hujan, hanya diwakili oleh sound efeeck, ternyata yang tak kalah penting bagi penonton adalah bukan apa yang secara nyata nampak diatas panggung tetapi apa yang dipersepsinya berdasarkan apa yang diucapkan oleh aktor, imaji penonton terbangun bahwa mereka benar- benar nyata adegan tersebut hujan turun. Dengan demikian apapun yang dapat dipersepsi oleh indera menurut kata- kata aktor dapat juga dipersepsi oleh audiens. Penerapan tanda kata tersebut dapat juga terlihat pada dialog :

Pelok : ajeng ider teng pundi mak, lha wong mendunge tasih kandel koyo ngene iki. Setu- setu niku prei mak, ben koyo pegawai negri.

Pelok : mendung peteng koyo ngene kok arep apel mak, baju basah karena hujan, apel kok kembro, mboten hot mak..

Makna dialog ini menggambarkan kontiunity adegan yang baru saja berlangsung, mendung bisa saja terjadi, meskipun hujan baru saja berhenti, selain itu juga menandakan bahwa hari ini adalah hari sabtu, sehinga relevan jika Emak bertanya masalah Apel pada Pelok. Penguatan sistem tanda mendung didukung oleh dialog- dialog (kata) setelahnya, diantaranya saat Pelok nembang lagu dolanan anak- anak yang biasanya dilakukan untuk meminta hujan saat langit sedang mendung. Menurut pengalamanku saat kecil, biasanya setelah menembangkan lagu tersebut hujan akan segera turun, atau sering pula tembang ini dinyanyikan saat hujan sudah mulai turun dengan penuh semangat. Aku yakin, dinegara Grace yang terkenal dengan gedung putihnya, tidak ada hal- hal seperti ini.

Pelok : udano sing deres. Tak opahi duduh pedes

Dandan’o sing pantes. bres- bres. 2X

kata dandan’o sing pantes, ternyata juga dimaknakan untuk tokoh Klenyem seorang pembantu rumah tangga yang saat itu sedang menunggu kekasihnya (pelok) disaat hujan sedang lebat. Tembang (kata) mereka saling bersambung. Apa yang di tembangkan pelok supaya hujan ternyata betul- betul terjadi

Klenyem : kang pelok bulane ora ketok, dandananku meblak- meblok aku pengen dicipok- pok, pok 2X.. (tembang)

Ujane deres tenan..

Dumeh wes danan.. kang pelok ra rumongso yen dienteni

Waduh macane isih tenger- tenger nang kono,

Jika dicermati, kata- kata bulane ora ketok dan udane deres tenan, menguatkan tentang hujan, sedangkan dandan’o sing pantes dan dandananku meblak- meblok merupakan satu kesatuan, juga mencirikan tokoh pembantu, dalam berdandan mereka hanya ala kadarnya dan terkesan ndeso, jika dibandingkan orang yang strata sosialnya lebih tinggi. Kata macane isih tenger- tenger ini ditujukan untuk ndoro kakung dan Putri, yang berarti penjaga, macan identik sebagai hewan penjaga, dalam hal ini para Babu (klenyem) supaya tidak keluar.

Kata Rematikmu lho. Yang ditucapkan Ndoro kakung untuk Ndoro Putri sebetulnya sudah cukup menandakan rematiknya, meskipun dalam akting Ndoro Putri kurang dibangun karakter bahwa ia sedang kedinginan terkena angin saat hujan lebat, bukankah rematik identik dengan udara dingin yang menusuk.

Pada saat Klenyem membakar gereh pethek (Ikan asin) untuk membuat ndoro Putri dan kakung pergi(masuk kedalam rumah), dialog Ndoro Putri dan Ndoro kakung menguatkan kata tersebut, meskipun para penonton tahu bahwa klenyem hanya membuat asap dari arang yang dikipasi.

Ndoro putri : Iki mesti klenyem sing bakar gereh pethek

Ndoro kakung : Nyem..! klenyem..!, sing ngobong gereh petek ki sopo.?.

Pada saat Ndoro Putri masuk kedalam rumah, Ndoro kakung memanggil Kleyem untuk mencari benggol (uang) kerokan dan mengerok badannya, Klenyem menolak dan memberikan usulan supaya tukang kerok yang biasanya saja atau Ndoro Putri yang mengerok badan Ndoro Kakung yang baru Bludrek ( Pusing). Ternyata kerokan ini hanyalah alasan klise Ndoro kakung untuk bisa memperdaya Klenyem, apalagi kata Iki Kuduhu dicoba, mempunyai pengertian, bahwa ia ingin mencoba untuk mereguk alias meniduri Kleyem. Hmm.. ternyata orang Bludrek memungkinkan melakukan apa saja diluar nalar, termasuk meniduri Klenyem. Jadi berhati- hatilah kalau ada orang Bludek atau kita sendiri sedang Bludrek.

Adegan tersebut disambung dengan teriakan Pelok yang memaki- maki kucing yang baru kawin (kucing gandik), dan menyebutnya sebagai kucing gendeng, yang sebetulnya tak lain identik dengan Ndoro kakung yang bludrek sehingga gendeng (gila), kucing kawin biasanya ribut sekali suaranya, ini identik dengan Ndoro kakung yang riuh memaksa Klenyem. Secara tersirat, kemarahan pelok pada kucing sudah tepat, karena Ndoro kakung yang memperdaya kekasihnya dengan kekuasaanya.

Setelah lampu perlahan- lahan redup, terdengar Suara ayam jago berkokok, kemudian lampu perlahan- lahan menyala kembali, suara Ayam jago menandakan pergantian hari meskipun adegan dan pakaian mereka masih tetap sama. Hari ini Emak libur bekerja, ini hari geblak (meninggalnya) suaminya, menurut pengalaman Emak, ini hari yang tidak bagus untuk bekerja. Tapi Pelok mencoba menasehatinya dengan mengatakan : sedino entok 5 geger lumayan mak, dadi pol- pole entuk loro setengah ewu. Dari kata tersebut bisa dianalisis bahwa satu kali Emak mengerok badan seseorang tarifnya lima ratus rupiah.

Pada saat Jarot muncul, ia berteriak- teriak memaki, karena terpeleset atau menedang sesuatu. Kata yang ia ucapkan menggambarkan keadaan tempat tersebut, yaitu sebuah kampung yang sedang digusur untuk sebuah pembangunan, gelap dan ada batu- batu bekas pembongkaran tembok, yang diwakili dengan para penonton yang duduk. Jarot agak kesulitan melewati mereka menuju panggung, ia tersandung- sandung badan penonton yang memang berkerumun.

Jarot : bajigur.. prongkalan tembok didangkrakke neng kene. Nyandungi sikil

Kok petenge koyo ngene iki, wah jan, Bajingan jebul dudu dalan to kene iki

Kata yang diucapkan Emak yang menjawab pertanyaan Jarot tentang keberadaan Tinah (PSK) “Biasane ki yen ra selak digondol uwong, jam songo”. Digondol uwong yang dimaksud adalah diajak kencan seseorang. Sedangkan kata yang diucapkan Pelok yang berbunyi : biyen ki, pas isih tok centengi tok kapak- kapakke gelem.. Tok tumpaki yo manut.. neng saiki kowe ra duwe hak maneh, yen arep nganggo yo mbayar.. Tok centengi artinya dikuasai Jarot untuk dimanfaatkan, identik dengan para mami (mucikari), Tok tumpaki berarti bersetubuh, begitu juga dengan kata arep nganggo(mau memakai) yang maksudnya juga bersetubuh.

Setelah Jarot pergi, Pelok keluar dari persembunyian, dan berkata pundi mak, kucinge gandik pon lungo? kata kucing gandik yang ia ucapkan sekarang mempunyai makna berbeda dengan sebelumnya, jika sebelumnya menandakan ndoro kakung, sekarang Jarot.

Dialog Pelok yang seolah- olah membacakan sebuah headline surat kabar membuat Klenyem terpukul, karena kata- kata itu tepat mengenai dirinya yang sebelumnya telah ditiduri oleh juragannya, dan menyebabkan dirinya hamil.

Pelok : Pejabat mbuh sopo anu jenenge menggarap habis- habisan babunya yang bahenol, babunya yang montok

Sedangkan dialok Pelok yang mengatakan : Saiki jaman edan Mbalang tai kudu dibalas tai.. melempar tai harus dibalas dengan tai, tai identik dengan sesuatu yang kotor dan bau, maka perbuatan kotor (jahat) Ndoro kakung harus dibalas dengan perbuatan/ cara kotor (jahat) pula, yaitu membuat surat kaleng berisi ancaman.

Menerima hal itu Ndoro kakung makin bludrek, apalagi ketika Jarot datang sambil mengamuk dirumanya dan mengatakan bahwa anaknya, Prasojo, membawa lari istri orang, yang tak lain adalah Tinah (PSK). Ndoro kakung meregang nyawa. Disusul dengan Ndoro Putri, kemudian Emak yang meninggal karena tak kuat mendengar berita bahwa makan suaminya yang didesa telah digusur.

Emak disini menyimbolkan rakyat kecil yang tak berdaya yang disuk- suk jadi Gepeng. Begitu juga Pelok dan Klenyem, menjai korban kekuasaan yang disimbolkan dengan kesewenang- wenangan Ndoro Kakung. Mereka tak berdaya dan harus rela menanggung semuanya, mereka semua disuk- suk menjadi gepeng. Inilah pesan yang ingin disampaikan perihal kritik social.

Kata Yang Bersambung

Meskipun berlainan tempat, sering sekali dalam pertunjukan ini akhir kata sebuah adegan menjadi permulaan bagi adegan berikutnya. Ini disampaikan supaya adegan satu dengan yang lainnya tidak terputus emosinya, tiap adegan terus berkesinambungan. Misalnya saat Pelok berdialog seolah- olah memanggil klenyem, tiba- tiba klenyem menyahut “ya ndoro.., seolah- olah ia memang sedang dipanggl oleh ndoronya. Ini juga dapat dilihat hampir diseluruh adegan seperti saat Pelok nembang udano sing deres.., klenyem menyahut, prut- prut.., Ndoro Kakung memaksa Klenyem untuk mengeroki badannya, Emak juga akan mengeroki salah seorang penonton yang tak sengaja berada didekatnya dan pelok meneriaki kucing yang sedang kawin (kucing gandik) yak tak lain adalah Ndoro Kakung, Pelok mengatakan “mak, niki- niki pun merembet kemasalah serius, jenengan dereng ngerti menopo, adegan selanjutnya, Ndoro Kakung tampak bingung melihat koran yang memberitakan anaknya yang suka pada dangdut. Dangdut identik sebagai kesenian murahan yang tak level dengan level priyayi macam mereka. Dangdut tidak bisa untuk cari makan, juga yang lainnya.

Konsep kata yang bersambung sebetulnya menjadi kekuatan dalam pementasn ini, akan tetapi karena timing pemunculannya sering kurang pas, dibebeerapa tempat menjadi memutuskan emosi dan pesan.

Tanda Yang Kompleks

Hal paling penting yang kemudian harus digaris bawahi adalah, ternyata sistem tanda dalam pertunjukan teater tidak bisa berdiri sendiri, tapi saling berdampingan dan menguatkan. Sistem tanda dalam teater adalah kompleks. Misalnya keadaan dingin, bisa diwujudkan dengan kata- kata dan acting aktor, juga dengan sound effeck, sistem- sistem tanda tersebut saling menguatkan. Salah satu contoh yang dapat dicermati dalam pementasan ini adalah Gereh petek yang dibakar klenyem. Akting batuk- batuk klenyem, Ndoro Putri dan Ndoro Kakung dengan nada dialohg yang ingin muntah menguatkan imaninasi tanda bahwa yang sedang dibakar Klenyem memang betul- betul Gereh petek. Begitu juga untuk menguatkan peran seorang emak yang berumur 30 tahun dapat dilihat dari berbagai tanda- tanda misalnya kata, nada, kostum, make up, gesture gerakan, begitu juga tokoh yang lain.

Dialog yang diucapkan oleh Nurul yang memainkan peran Emak bisa mencerminkan seseorang wanita yang berumur 50 tahun, padahal ia baru berumur 24 tahun, hal tersebut juga terjadi pada tokoh Pelok dengan kata- kata yang ia ucapkan Penonton dapat memahami, mengikuti kesepakatan yang dibuat sutradara dan aktor bahwa Gundul adalah pelok si tukang Koran yang berumur 28 tahun. Begitu juga dengan tokoh Klenyem seorang Babu, Ndoro Kakung, Ndoro Putri, dan Jarot seorang preman (bajingan). Mereka telah berhasil menggunakan kata- kata yang mereka ucapakan untuk mewakili tokoh yang mereka perankan. Maka fungsi terpenting bahasa dalam teater adalah dari penggunaan bahasa itu sendiri oleh actor. Maka dapat terlihat bahwa bahasa memiliki kemampuan mencetuskan makna yang tak terbatas. Ini berarti tanda- tanda kebahasaan dapat menggantikan semua tanda lain yang ada dalam teater, kecuali tanda-tanda gestural dan proksemik. Saussure mengatakan bahwa tanda kebahasaan terdiri dari dua bagian yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, yakni penanda (signifier) atau squencs bunyi dan petanda (signifier) atau konsep yang mengacu pada bunyi tersebut

Pelan- pelan aku srupuutt teh poci wasgitel didepanku. Manis rasanya, sayangnya tak semanis nasib pelok, Klenyem, Emak dan Tinah. Mereka menjadi simbol masyarakat kecil yang selalu kalah. Yang selalu di suk- suk peng. Grace tampak tersenyum manis sambil menyantap brongkos didepanku, siap dengan diskusi kami.

 

Philipus Nugroho Hari Wibowo SSn, Staf Pengajar Jurusan Teater ISI Yogyakarta

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Annette Lavers and Colin Smith, Elemen of Semiologi Roland Barthes, New York : Jonathan Cape.Ltd. 1968

Umberto Eco, A Story of Semiotic, Bloomington : Indiana University Press. 1976

Ikramullah Mahyuddin (terj), Membedah Mitos- Mitos Budaya Massa : Semiotika atau Sosiologi Tanda, Simbol, dan Representasi, Yogyakarta: Jalasutra . 2007

Keir Elam, The Semiotics of Theatre and Drama ,London : Rout- Ledge. 1991

Kurniawan, Semiologi Roland Barthes, Magelang : Yayasan Indonesiatera. 2001

Nur Sahid, Semiotika Teater, Yogyakarta : Lembaga Peelitian Institut Seni Indonesia Yogyakarta. 2004

Nyoman Kutha Ratna, Estetika Sastra dan Bdaya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2007

Patrice Pavis, The Theatre At The Crossoads of Culture, London : a Division of Routledge, Chapman and Hall.Inc. 1992

Komunitas Sego Gurih Mbarang Keliling Dusun

Pementasan produksi yang ke 20 tahun 2010 ini Komunitas Sego Gurih menggelar lagi lakon Suk-Suk Peng karya Bambang Widoyo SP untuk ke 5 kalinya. Lakon ini pernah dipentaskan sebelumnya tahun 2001, 2002, 2003. Kali ini KSG membawa keliling lakon ini mbarang ke 4 desa yaitu : (11 Juli) Balai Budaya Samirono, (14 Juli) Dusun Karangploso Piyungan, (18 Juli) Rumah Budaya TEMBI Bantul dan (25 Juli) Dusun Bantar Banguncipto Sentolo Kulonprogo. Terakhir kalinya pementasan ditutup pada (9 Agustus), di halaman samping rumah Ibu Surono seorang warga penggemar kesenian teater, yaitu di JL. Pakel Baru Nitikan, Yogyakarta.

Masih dengan bentuk yang kemarin dan selalu segar yaitu menghadang penonton. Bukan lagi menunggu penonton (massa kota) di gedung-gedung pertunjukan baku di tengah kota. Pilihan yang semakin di mantapkan saja karena proses untuk terus menciptakan strategi estetika yang selalu aktual sekaligus kontekstual. Penonton itu relasi. Relasi ekonomi dan sosial menurut hemat katanya dalam berteater KSG selama ini. Relasi yang terbangun karena hubungan timbal balik tetapi tidak melulu diukur dengan profit tertentu. Sama-sama berperan memainkan proses relasi, yaitu antara desa sebagai fasilitator dan KSG sebagai tamu produksi yang datang untuk mbarang. Di sini akan dimulai mengulas secara berurutan. Urutan pertunjukannya sebagai beirkut ;

Balai Budaya Samirono

Pendapa Balai Budaya Samirono Catur Tunggal Sleman, Yogyakarta malam itu jam 19:30 menjadi seting rumah seorang Ndoro Kakung (Elyandra) dan Putri (Dita) dengan kursi pas di tengah 4 soko gurunya. Di bagian depan pendapa sebelah kiri seting berlevel (dingklik kayu susun) dengan tikar, di sini ruang antara Emak (Nurul) dan Pelok (Ibnu Gundul). Sebelah kanan pendapa sebuah ruangan taman kanak-kanak yang pintunya menghadap keluar di gunakan untuk ruangan Klenyem (Yanti). Pembagian ruang hanya dibedakan dengan tata cahaya yang cukup.

Sembari menunggu penonton salah satu pemusik menyanyikan lagu-lagu dengan iringan keyboard memainkan nomor-nomor lagu pop yang di aransemen dangdut. Penonton sudah mulai berkumpul menempati tikar yang sudah kami gelar mengitari halaman pendapa, kemudian pentas dimulai. Dengan lirik ; selamat datang bapak ibu dan pemirsa // ini teater sego gurih siap sedia // mari kawan mari bersorak gembira // teater ini akan menghibur anda semua // diulang 2 kali. Disusul tetembangan dengan lirik di nyanyikan para pemain sambil duduk berjajar berdesak-desakan, lirik tersebut sebagai berikut : Suk – suk peng tengah dewe dadi gepeng // Gepeng munggah kaji rambute gari siji // Mbukak lemari isine roti // Roti – roti atos silite mbledos…mbledos…mbledos..silite ambeyen. Begitu cair suasana awal di buka, pemain masih berjajar mendengar Sawito, Katrok. Toni, Jipna, Dadang, sebagai tim pemusik menembangkan sepenggal lirik ;

Pemusik : ngamboro ing awang-awang

Pemain : apalaneee….

Pemusik : angelangut

Pemain : mbok liyaneee…..dst

Adegan pembuka dimulai dengan suara riuh lagu yang dilantunkan para pemian dan pemusik dengan lirik folklore tersebut di atas. Lirik tersebut dirasa cukup mewakili adegan sebagai kemeriahan pesta rakyat yang riuh renyah sebuah perayaan yang tak terelakan. Beberapa alat perkusi kenthongan, kendang, bonang, kempul ikut ditabuh para pemusik.

Adegan berjalan dari awal sampai pertengahan cukup rapi, khususnya bagian Emak dan Pelok mempunyai potensi untuk terus komunikatif dan intearaktif dengan penonton. Namun ada beberapa kendala vokal yang memang harus menggunakan kekuatan ekstra mengingat pendapa balai budaya begitu terbuka lebar. Tikar tempat penonton hampir dipenuhi dari segala segmen mulai dari anak-anak sampai dengan orang tua. Sesekali guyonan muncul atas tanggapan kerenyahan (clekopan) penonton yang terus setia mengikuti adegan dengan seksama. Namun ada beberapa ketika beberapa pemain melontarkan kata yang vulgar (pisuhan) ada beberapa penonton mengeluhkan karena ada diantaranya penonton anak-anak.

Disamping kanan dari penonton terdapat sebuah warung angkringan yang sengaja berjualan, namun angkringan tersebut menjadi ruang yang mampu di respon oleh Emak dan Pelok. Sesekali angkringan tersebut masih juga nyambi menjajakan jualannya kepada penonton lainnya yang sekedar membeli minuman atau rokok. Ruang sebelah kiri penonton yaitu ada bangunan Taman Kanak-kanak, itupun juga direspon sebagai rumah Ndoro Kakung yang banyak menjadi spektakel adegan Klenyem dengan aktivitasnya sebagai pembantu dari Ndoro Kakung. Sampai dengan adegan yang begitu tegang penonton masih mengikuti. Bahkan ketika pada klimaks terakhir Emak meninggal ketika Pelok membacakan surat karena kabar penggusuran, penonton ikut hanyut terbawa dalam suasana.

Secara sosiso-geografis masyarakat Samirono sebenarnya sudah terbiasa dengan beberapa tontonan dan peristiwa kesenian yang boleh berlangsung di Balai Budaya tersebut. Mengingat Balai Budaya ini dibangun juga merupakan fasilitas dan media komunitas masyarakat Samirono untuk beraktualisasi, berapresiasi dan beredukasi bersama melalui kesenian. Jadi secara mentalitas mereka sudah terbiasa dengan tontonan berbasis tradisi, kerakyatan maupun modern sekalipun.

Dusun Karangploso, Sitimulyo, Piyungan

Pementasan kedua ini digelar lagi setelah jeda 1 minggu tepatnya 18 Juli 2010. Febriyan Eko Mulyono sebagai pimpinan produksi Komunitas Sego Gurih kali ini bekerja sama dengan Sanggar Omah Opak. Sanggar yang beraktivitas dibidang kesenian dan kebudayaan yang di gawangi oleh seorang pemuda giat yaitu Muklas. Awalnya rembugan pementasan ini berlangsung karena Muklas meminta kepada Yusuf PPM agar Sego Gurih mau mendatangi Dusun Karangploso dengan pementasan. Akhirnya dimasukan dalam jadwal produksi pementasan keliling

Muklas memberitahukan sebelumnya bahwa dusun ini mayoritas memeluk agama Islam dan secara sosio-komunal cukup religius. Berkaitan dengan hal itu kompromi pun dilakukan, mengingat lakon ini secara teksnya memang banyak mengungkapkan tersurat kalimat vulgar berupa pisuhan. Beberapa pisuhan akhirnya diminimalisir.

Sebelumnya tim artistik pun tidak akan menyangka kalau pembuatan panggung akan terjadi seperti teater arena terbalik (dimana panggung pemain yang mengapit tempat penonton). Hal itu terjadi begitu saja secara alamiah (istilah Mas Beni sebagi art director memang seting yang “meng ada-ada”). Malam itu panggung di bagi menjadi 2, untuk adegan Ndoro Kakung dan Ndoro Putri di letakan di teras rumah Pak Dukuh setempat. Seberang jalan rumah Pak Dukuh tersebut ada bekas bangunan roboh akibat gempa bumi tahun 2006 yang sengaja di biarakan hampir mirim bong suwung tapi tidak begitu luas. Gumpalan batu bata masih sedikit berserakan, sebagian lahan ditumbuhi pohon pisang yang sengaja dipelihara salah satu warga setempat. Jalan tengah yang melintas diantara teras Pak Dukuh dan bekas bangunan tersebut yang dijadikan tempat penonton.

Hal ini menjadi temuan baru bagi KSG yang kemudian di sebut Sapit Urang, temuan ini ditegaskan oleh Yusuf PPM sebagai sutradara pertunjukan malam itu. Teater arena yang secara tidak sengaja terbalik. Penonton yang dikupeng oleh pertunjukan. Jadi penonton berada ditengah permainan yang dikepung oleh adegan di teras rumah Pak Dukuh dan bekas bangunan yang menjadi lahan pohon pisang. Pemisahan kedua ruangan tersebut memainkan cahaya lampu yang begitu tangkas oleh Dwi Vian yang cukup memperhitungkan secara tepat. Karena akurasi ketepatan ruang juga mempengaruhi irama permainan yang menyangkut persoalan tangga dramatik yang sedang dibangun sejak awal.

Penonton semuanya mengikuti dengan begitu cair bahkan satu persatu ikut dalam “liarnya” adegan karena malam itu dirasakan adegan begitu saja mengalir. Semuanya bermain dengan nyaman. Bahkan dominasi komunikatif bersama penonton tidak bias lepas satu persatu. Cair dan sangat cair. Menjinakkannya sampai susah karena keiinginan penonton belum tentu keinginan dari alur cerita lakon itu sendiri. Penonton malam itu menyaksikan dengan sangat cair sekali bahkan ada beberapa adegan yang selalu dengan rajin di ikuti coleteh para penonton. Semuanya bebas saja terjadi, “itulah peristiwa yang kemudian memang sangat sulit dijinakan oleh permainan yang sudah terlanjur komunikatif”, tambah Yusuf. Ada kalanya memang alienasi bisa saja terjadi saling mementahkan dialog dalam rangka mengembangkan pola improvisasi.

Adegan ending ditutup dengan kecelakaan yang dilakukan oleh Jarot (Kadir) saat itu dia menginjak kursi tamu ruang Ndoro Kakung namun kursi terebut patah klak ! Kadir terjatuh justru mengundang riuh tawa penonton yang tak henti-hentinya. Sahut penonton secara reflek, woo..ijoli…wah…tombok…wah kursine Pak Dukuh tugel. Itulah penonton, kami tak berhak menghentikan lajunya responsif yang begitu rajin mengamati pertunjukan dengan jeli dan teliti.

Rumah Budaya Tembi Bantul

Pementasan putaran ketiga berlangsung di sebuah kantong budaya di selatan kota Yogyakarta. Rumah Budaya Tembi ini memang acap kali sudah menjadi ruang pertunjukan alternatif. Karena bentuknya yang masih mengacu pada konstruksi bangunan rumah pendapa (Joglo) yang begitu megah dan artistik. Bagian belakang lengkap dengan gebyok dengan pintu masuk ke arah pringgitan kemudian di depan gebyok terdapat seperangkat instrumen gamelan komplit.

Setingan pementasan kali ini masih mengacu pada bentuk sapit urang, istilah yang ditemukan Yusuf PPM di Karangploso Piyungan. Panggung di bagi menjadi dua bagian ; Ndoro Kakung dan Ndoro Putri ditempatkan di dalam pendapa lengkap dengan perabotan kuris dan meja. Sedangkan Emak dan Pelok ditempatkan pada depan tritis pendapa yang memanfaatkan lesung sebagai tempat duduk. Ada penambahan seng yang didirikan tegak mengahadap frontal ke arah panggung Ndoro Kakung. Hal ini dimaksudkan sebagai simbol pembangunan dan ironis realitas sosial yang saling berbenturan.

Jarak penonton malam itu begitu sangat dekat terutama waktu adegan awal kita menyanyikan lagu pembuka. Masik dengan lirik yang sama seperti di awal pertunjukan ketika di Balai Budaya Samirono. Namun faktor yang menjadi pengaruh penting selama pertunjukan adalah pengkondisian semua pertunjukan. Mayoritas penonton adalah mahasiswa ISI Yogyakarta beberapa memang teman kampus. Masyarakat sekitar Rumah Budaya Tembi hampir bisa dipastikan beberapa jumlahnya. Justru nota bene mereka adalah usia orang tua sampai lansia.

Secara keseluruhan pertunjukan berjalan begitu seperti adanya, namun respon secara peristiwa tidak begitu semeriah di Balai Budaya Samirono dan Dusun Karangploso Piyungan. Hal ini bisa dibandingkan dengan kondisi sosial penonton yang sudah terbiasa dengan tontontan atau belum pernah sama sekali. Idealnya jika masyarakat sekitar Rumah Budaya Tembi seharusnya sudah terbiasa dengan tontonan kesenian, mengingat Tembi sudah sering terjadi peristiwa seni pertunjukan dalam bentuk apapun.

Malam itu yang dirasakan pemain adalah adegan yang begitu berat untuk menaikkan emosi baik secara permainan ataupun mempengaruhi penonton. Sebagian penonton pulang ketika kotak saweran berlangsung ditengah adegan Pelok dan Klenyem. Padahal seperti pertunjukan sebelumnya saweran selalu diumumkan sebelum pertunjukan dimulai. Malam itu kita mendapatkan saweran sejumlah sekitar Rp 100.000, sedangkan di Balai Budaya Samirono sekitar Rp 300.000 kemudian di Dusun Karangploso mendaptakn Rp 200.000. Selisih tiap tempat pertunjukan hampir ditaksir sekitar beda Rp 100.000.

Dusun Bantar Sentolo Kulonprogo

Putaran keempat ini Sego Gurih diminta oleh Mas Towil (Ketua Paguyuban Onthel Jogja – PODJOK) untuk mementaskan Suk-Suk Peng. Pementasan ini juga bertepatan dengan acara penutupan Djambore Onthel Indonesia yang dilaksanakan pada 18 Juli 2010. Acara malam itu sengaja mengundang Komunitas Sego Gurih untuk menampilkan repertoarnya yaitu Suk-Suk Peng sekaligus menjadi acara penutup perhelatan komunitas onthel Podjok.

Sore hari beberapa masyarakat Dusun Bantar sudah berjualan mulai dari tempura, es jus, sampai mainan anak-anak. Menginjak malam hari beberapa pedagang bertambah di seputar jalan dusun. Lampu-lampu panggung mulai menyala dan bunyi spiker seolah menjadi pertanda bahwa malam nanti akan ada tontonan. Anak-anak kecil mulai penasaran berdatangan mendekati tempat pertunjukan tersebut. Disusul kemudian rombongan bersepeda onthel dari usia tua sampai dengan yang muda.

Acara pembukaan di buka oleh Mas Towil selaku Ketua Podjok dan sempat menghadirkan sesepuh pegiat onthel. Begitu acara dibuka langsung dibuka dengan lagu-lagu pembukaan sebagai pemanasan untuk memancing warga masyarakat agar segera berdatangan.

Adegan awal dimulai penonton masih tidak begitu bersahabat semua masih merespon dingin. Mungkin ini menjadi tontonan perdana ketika teater masuk Dusun Bantar. Ditambah setingan tempat dimana menaruh makanan dengan konsep resepsi itu berdekatan dengan tempat duduk adegan Ndoro Kakung, sehingga terjadi respon yang begitu mentah sekali antara penonton yang sedang asik menikmati makanan dengan pertunjukan yang sedang berlangsung. Entah karena faktor seting yang terlalu berdekatan itu atau karena penonton memang tidak siap atau memang penonton tidak mau tau dengan teater karena tujuan datang ke acara tersebut hanya menghadiri acara penutupan dan makan kemudian selesai.

Pertunjukan berjalan cukup aman, ada beberapa adegan yang mengundang tawa ketika para pemain sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menaikkan emosi permainan lebih lagi. Semua mencoba merespon ruang yang ada. Mulai berdialog dengan seorang Ibu yang sedang menimba air di sumur, Ibu tersebut menanggapi terus secara komunikatif hingga tidak sadar bahwa dialog tersebut terjadi dalam pertunjukan. Inilah persitiwa yang tak bisa di jinakkan, tambah Yusuf PPM. Seolah hanya mengikuti apa kemauan penonton. Bentangan dramatika yang sudah dibangun sejak awal sengaja “dibelokkan” karena bukan kecelakaan tapi inilah teater yang saling menyapa dengan penonton.

Para pemain sempat tidak merasa nyaman dengan halaman depan rumah Mas Towil yang bertekstur bebatuan. Jadi permainan harus mengandalkan alas kaki seperti sandal misalnya. Karena jika tak beralas kaki terasa sakit karena bebatuan besar yang berserakan. Untuk berlarian saja seolah merasa takut untuk menginjak bebatuan saja merasa tak yakin. Semua serba nanggung.

Namun pertunjukan tetap berjalan meski beberapa dihiraukan penonton karena aktivitas standing party berdekatan dengan panggung. Terserah! Suk-Suk Peng tetap jalan bagaimanapun inilah proses peristiwa yang sedang kami bangun didaerah yang mungkin belum pernah sama sekali kedatangan seorang tamu yaitu pertunjukan teater tiban.

Halaman Rumah Ibu Surono Kampung Nitikan Umbulharjo

Rencana pementasan ini sebenarnya sudah ditutup ketika pertunjukan terakhir diputaran Dusun Bantar Kulon Progo. Komunitas Sego Gurih berencana untuk mengadakan njenang sumsum untuk menutup rangkaian pertunjukan keliling. Karena rencana tersebut di ketahui oleh salah satu “kolega baru” Sego Gurih kemudian diminta bagiamana kalau njenang sum-sum tersebut juga digelar sekaligus disisipi pementasan yang terakhir sebagai penutupan yang sesungguhnya.

Akhirnya rembugan dilaksanakan, kami ditawari untuk melakukan pertunjukan terakhir di halaman samping rumah Ibu Surono seorang warga kampung Nitikan Umbulharjo Yogyakarta yang juga penggemar sekaligus pelaku kesenian tradisi. Halaman itu hanya terdiri sebuah panggung dari kayu mirip rumah panggung. Beratap seng dan tonggak penyangganya hanya glugu, sedangkan luasnya hanya kurang lebih sekitar 4 X 6 meter.

Panggung bagian belakang hanya ditutup dengan kain putih sebelah kiri ditutup dengan kain hitam. Di isi seting dengan kursi dan pembatas slintru berbalut kain hitam. Pemusik menempati sebelah kanan area penonton mereka lesehan di tritisan rumah.

Musik pembuka mulai mengalun, lagu-lagu populer campu sari mulai di dendangkan warga sekitar mulai berdatangan. Tikar berlapiskan terpal menjadi alas penonton untuk duduk menyaksikan dengan lesehan. Pertunjukan dimulai dengan para pemain yang bermunculan dari berbagai arah panggung, kemudian duduk merapat dibibir depan panggung masih dengan lagu mars Sego Gurih dan disusul Suk-Suk Peng. Semua penonton cukup menyambut dengan tawa yang masih sedang alias medium.

Pertunjukan berlangsung beberapa joke terjadi dan menambah komunikatif bersama penonton. Bisa dikatakan penonton warga kampung ini memang sudah siap ataupun “terbiasa” dengan pertunjukan. Mengingat disebelah kampung tersebut yang berbatasan dengan wilayah Pandeyan, kedua kampung ini masih mempunyai aktivitas dengan kesenian ketoprak. Apalagi beberapa penonton yang datang boleh dikatakan kaum berpendidikan, jadi dengan segala apapun yang terjadi dalama pementasan mereka cukup merasa nyaman. Ada dialog yang berbunyi misuh pun mereka tetap tak mempersoalkan. Semua tetap interaktif dan lancar bahkan seluruh pemain merasakan pertunjukan ini mengalir seperti waktu di Balai Budaya Samirono dan Dusun Karangploso Piyungan.

Pertunjukan diakhiri dengan jenang yang dibagikan cuma-cuma ke penonton, dengan ditemani ubi rebus dan kacang bersama teh panas. Semua menikmati seusai pertunjukan, masih dengan duduk santai sambil para pemain berkemas membersihakan make up. Musik pun masih berbunyi dengan dendangan penyanyi yang menyanyikana lagu campur sari menuju pungkasan.

Rembug gayeng pun di gelar setelah beberapa penonton pulang meninggalkan tempat pertunjukan. Saat itu dihadiri beberapa seniman teater yang sengaja diundang untuk bisa hadir memberikan beberepa komentar, usulan dan kritik kepada pertunjukan kami. Malam itu yang sudi hadir ada diantaranya yaitu : Masroombara, Heru Kesawa Murti, Whani Darmawan dan Ong Hari Wahyu. Ada beberapa tamu lain seperti M. Jalidu (Balai Budaya Samirono), Towil (Dusun Bantar), Muklas (Dusun Karangploso), Gembes (Teater Gadjah Mada) dan masih banyak teman yang lainnya. Semuanya lebur menjadi satu rembugan yang cukup menarik sembari setiap perwakilan masing-masing dusun yang pernah kami singgahi pun memberikan kesaksian ketika kami menggelar pertunjukan di sana. Akhirnya semua berjalan begitu adanya, pada intinya Sego Gurih harus selau berproses untuk tetap berada pada pihak penonton yang didatangi. Penonton harus terus selalu disapa dengan diajak memberikan pemikiran kritis atas nilai-nilai melalui pertunjukan.

Dan jangan pernah untuk terlalu dini menganggap peristiwa teater semacam itu menjadi sesuatu yang eksotimse, tambah Ong Hari Wahyu. Semuanya demi bertumbuhnya Komunitas Sego Gurih untuk terus membuat pertunjukan yang konfirmatif, istilah Heru Kesawa Murti. Terus peracaya diri dengan bahasa Jawa, tambah Masroombara. Ditangkis oleh Whani Dramawan bahwa Komunitas Sego Gurih segera ditunggu menggarap sinopsis cerita bertema RUU Keistimewaan DIY, yang sudah ditulis dan diberikan tanpa syarat ketentuan berlaku untuk segera direspon. Salam Sego Gurih.

 

Elyandra Widharta, ditulis sudah begitu terlambat waktuya terhitung sejak pertunjukan terakhir. Tapi biarlah semoga menjadi preview pertunjukan yang bermanfaat. 15 September 2010. Suk-Suk Peng ini pun juga ditolak panitia seleksi Festival Teater Jogja 2010, tetapi tetap melakukan keliling desa pentas sampai 5 kali.

 

Sandiwara Berbahasa Jawa Ngoko Progresif

Prolog

Sebagai sebuah kelompok teater, rasanya perlu arah yang jelas jika masih ingin hidup lebih lama lagi. Setelah itu dengan berbagai cara, Komunitas Sego Gurih (KSG) mencari terus arah-arah tersebut. Tentu saja dengan kerja-kerja kreatifnya. Jika memang selama ini memilih bahasa Jawa sebagai alat ucap, barangkali karena faktor kebetulan dan reflek. Baru kemudian dicari berbagai macam pemikiran, alasan yang menjadi landasan dalam memilih. Minimalnya untuk mempertebal iman serta keberanian pada pemilihan tersebut. Kebetulan yang dimaksud di sini, ialah karena individu-individu dalam KSG lahir sebagai wong Jawa ndesa. Tentu saja dengan tingkat wawasan yang ndesa pula. Maka disetiap harinya berinteraksi dengan berbahasa Jawa, sehingga wajar jika merefleksikan sesuatu (baca : berkarya) dengan bahasa dan cara-cara yang setiap harinya kita lakukan. Mungkin karena itu dekat dengan kehidupan.

Karena persoalan-persoalan tersebut, rasanya kesulitan jika harus menjabarkan ideologi apa saja yang dibawa KSG. KSG belum menemukannya baru dan masih mencari secara kreatif. Karena itu pula kita harus menentukan gaya (style) bagaimana menjadi dan terus mencari identitas KSG.

Bahasa Jawa menurut hematnya bukan sekedar bahasa ibu dan ulat ucap praktis sekaligus strategis di atas panggung. Banyak semangat serta dialektika yang terlalu dalam. Ya, karena memang perlu ditegaskan kembali bahwa kebetulan kita orang Jawa. Jawa adalah kultur yang sangat religius dan spiritualis. Mengoceh diatas panggung dengan bahasa Jawa, konon orang bilang itu natural. Tetapi natural yang seperti apa itu masih perlu dicari kemudian dipahami. Natural menurut siapa ? pelakunya, penikmatnya, ataukah peristiwanya ?

”Seolah hanya memainkan diri sendiri, dan bukan tokoh” tambah penonton. Bagaimanapun hakekat sandiwara adalah peran yang dirahasiakan. Rahasia yang nantinya juga akan dibeberkan didepan penonton. Sandiwara Jawa, serahasiakah apa gagasannya ? Rahasia atau bukan akan dibongkar sekarang juga demi terwujudnya sebuah gagasan berteater. Itulah gambaran ketika akan berbicara mengenai tataran konseptual. Konsepsi pertunjukan teater bahasa Jawa. Mohon maaf harus diawali dengan prolog yang ndakik-ndakik.

Jawa Ngoko Progresif

Bahasa Jawa biasa diwudani nganti blejet ketika naskah lakon sudah didapat ditangan. Dilanjutkan dengan tidak terburu-buru terlebih dahulu berpikir panjang mengenai bentuk pemanggungan. Terlalu prematur untuk urusan yang satu itu.  Yang dilakukan ialah mengalir sesuai proses kreativitas. Membaca alias reading, kemudian kami mulai meraba-meraba dan mencari apa itu soul (nyawane) bahasa Jawa. Membaca dan terus membaca! Seperti belajar tembang macapat kami mencari dan pahami dahulu guru lagu, guru gatra kemudian guru wilangan. Seberapa tone yang kami dapat, terlepas dengan karakter jenis vokal masing-masing personil. Karena itu yang menjadi rujukan ketika sutradara melakukan kasting sesuai lotre peran akan jatuh kepada siapa.

Dilanjutkan proses mencari bentuk irama dalam laku tanpa stilisasi atau dibuat-buat layaknya mainstream drama modern. Oleh karena bahasa Jawa ialah bahasa yang sedang mengalir dalam darah ini. Memang secara psikologis kami menyebutnya semacam playback sekaligus impression. Pengertiannya menurut definisi atas versi kerabat Sego Gurih ialah begini :

Playback    : teknik memutar/memainkan kembali aksi, tindakan atau peristiwa yang sudah pernah dilalui atau dikerjakan. Dalam rangka mengemas ingatan tersebut ke dalam laku saat ini dan sekarang. Minimal mampu mendukung transformasi perwujudan dan pencitraan soul sebagai orang Jawa. Baik yang sedang atau akan dicapai mampu menciptakan rerferensi sekaligus interpretasi secara personal  terhadap tokoh.

Impression     : setelah teknik playback dilakukan kemudian timbulah kesan. Kesan itulah yang nantinya mampu dihadirkan sedemikian rupa untuk perwujudan tokoh berikut soul-nya. Bersamaan  dengan situasional dramatik yang terjadi dalam realitas panggung. Meskipun terkadang realitas yang sebenarnya masih terbawa di atas panggung.

Segala kondisi dan situasi yang sedang dilihat bahkan dirasakan didepan mata. Misalnya bangsa sedang gencar menginformasikan fenomena apa ? Ini berkaitan dengan kontekstualisasi bahkan ketika mencoba keluar dari dialog sebentar dengan improvisasi. Improvisasi yang dimaksud bukan lantas keluar dari plot yang sudah ada. Tapi upaya aksi dan strategi menghadapi lawan dialog dengan bekal eksplorasi yang sudah ditemukan untuk capaian sinergis irama permainan. Tidak meunutup kemungkinan keluar dari konvensi dramaturgi yang sudah ada. Sebab bahasa Jawa tanpa improvisasi itu muspra. Bahasa Jawa itu tidak kaku. Jawa adalah bahasa  yang demokratis, toleransi tinggi, kompromis dan cerdas estetika. Luwes, lincah, sigap, tangkas bahkan bisa ngejazz dalam mengejawantahkan teks dan konteks apapun.

Pemanggungan disini yang dibayangkan dalam kepala bukanlah “ideologi” cecak nguntal empyak. Tetapi lebih berbicara sesuatu yang sederhana mulai dari yang sederhana pula. Proses pertukaran gagasan dan gesekan kreatif yang slaman-slumun-slamet.  Tanpa harus rekasa memaksakan diri untuk berkeliat dengan persoalan diluar yang rumit. Bahasa Jawa bukan kerumitan yang bertele-tele ditengah kemudahan akses dunia digital diera hiper-gigapolitan ini.

Teater Bahasa Jawa yang bermanajemen saling ngewongke antara sutradara, aktor, tim setting, tim make up & kostum, tim lampu, tim pemusik, tim produksi. Srawung yang bertujuan untuk keikhlasan kerja kreatif. Bersama mengurai gagasan mengenai bahasa Jawa secara sosio-kultural dari prespekti yang majemuk. Prespektif anak-anak muda dari jaman kekinian ini. Bukan kekinian yang jika kami diperbolehkan kemaki, boleh kami sebut itu kontemporer. Biarlah itu asumsi yang muncul karena unsur ketidaksengajaan ataupun alineasi yang sudah kami persiapakan sebagai strategi. Lebih tegasnya strategi kelompok teater bahasa Jawa dalam pengucapan estetika.

Isu Sosial sebagai Teks

Dalam proses perubahan sosial tersebut selalu yang menjadi korban ialah masyarakat pinggiran kota (grass root). Mulai dari konflik penggusuran tanah, kekerasan, penindasan, diskriminasi, hak asasi dan sebagainya. berbicara soal sosial kemanusiaan sebuah masyarkat. Kehidupan sosial masyarakat urban ditanah kosong milik pemerintah di pinggrian kota. Lakon-lakon yang terbiasa menanggapi persoalan bagaimana ngewongke-wong (memanusiakan manusia) itu tanpa harus menggunakan kekerasan. Terlepas secara konteksnya konflik semacam ini masih kerap terjadi dalam masyarakat dan bangsa ini. 

Masalah urban chaos tentu bukan hal baru tetapi seiring dengan fenomena dan perkembangan zaman, wilayah ini selalu kondusif terjadi dimana saja. Sampai hari ini pun pemicu konfliknya masih sama yaitu ; bahwa akarnya adalah kemiskinan. Jadi keberangkatan yang dijadikan pijakan awal sebagai teks adalah isu. Isu apa saja, kapan saja dan dimana saja yang penting menurut kami itu masih kontekstual untuk dinikmati dan ditanggapi. Tidak ada kata basi untuk hal menyangkut isu. Basi hanya persoalan waktu. Selanjutnya akan di-reinterpretasikan sesuai kebutuhan penyampaian gagasan dan estetika.

Isu-isu sosial memang agaknya terlalu murahan untuk diangkat menjadi sebuah teks. Tapi bagi KSG tidak. Konflik seperti inilah yang terus mengalir dan menjadi semangat untuk membangun kekuatan secara spiritual dalam menyikapi hidup. KSG hanya menanggapinya melalui representasi kehidupan di atas panggung. Tanpa didasari muatan politik sedikitpun. Tapi proses pembelajaran dan penyadaran sosial  tanpa tendensi untuk mengusik ketenangan siapapun.

Kerja kreatif yang dilakukan adalah mengoptimalkan banyak elemen pendukung. Dituntut kompromi yang lebih lama, antara elemen-elemen tersebut. Elemen antara penata gerak, penata setting, musik juga penata cahaya. Kenakalan-kenakalan dan keliaran kreativitas yang muncul dari pemain, pemusik, penata gerak, penata setting, penata cahaya bahkan penonton latihan (proses) sekalipun bisa menjadi penyumbang proses penyutradaraan. Oleh karena untuk kedepannya KSG mampu membentuk dirinya sendiri secara alamiah. Tidak gamang dalam menentukan langkah selanjutnya. Berani memilih bentuk-bentuk artikulasinya, memilih gaya dengan mantap. Gaya KSG yang konsisten sekaligus intens berbahasa Jawa. Langkah ini diharapkan  mampu mendewasakan komunitas, guna pencapaian banyak hal, baik pada wilayah kreativitas, manajemen maupun estetika sebagai pendukung dan hidupnya rumah tangga sebuah komunitas teater.

Sedikit demi sedikit mulai belajar meninggalkan gaya serta naskah-naskah Teater Gapit yang kemarin-kemarin banyak dilakukan oleh KSG. Rasanya bahasa Jawa tidak terlalu miskin untuk menjadi alat ucap sebuah peristiwa teater. Jika memang dianggap miskin, bukankah peristiwa dramatik dapat diciptakan dengan banyak unsur. Tapi rasanya bahasa Jawa cukup kaya. Kaya untuk terus menanggapi isu yang terjadi. Minimalnya mampu mengartikulasikan isu sosial dengan berbagai macam gagasan kreatif sekaligus representatif.

Artistik

Berikut ini pola artistik yang biasa dilakukan ketika melakukan pertunjukan yaitu, Tata Rias : Menggunakan tata rias sebagai mana sering digunakan dalam teater. Mengacu dan mementingkan kepada penguatan karakter wajah. Berikut dipertimbangkan masalah intensitas tata riasnya karena berhubungan dengan tata cahaya, tempat pementasan diluar ruangan atau outdoor dan pendokumentasian dengan kamera video maupun foto.

Tata Busana : Menggunakan busana sesuai petunjuk dan interpretasi naskah. Sesuai karakter dan status sosial tokoh. Pilihan warna dan tekstur kain busana yang dikenakan harus mengacu pada persoalan konteks naskah.

Tata Cahaya : Bisa menggunakan lampu oncor atau listrik semua tidak penting yang jelas dengan lilin atau senter, petromat pentas tetap akan dimulai. Cahaya bisa memberikan suasana dan jenis lampu yang berbeda akan mendorong suasana dan kondisi yang berbeda pula. Namun tetap pementasan ini tidak ketergantungan dengan pencahayaan yang canggih ataupun hi-tech

Tata Musik : Musik keroncong dengan pilihan lagu-lagu yang sudah familier ditelinga masyarakat. Dengan cara perlakuan dan aransemen musik yang tidak harus pada konvensi musik keroncong sesungguhnya. Bebas dan terkadang aksen humor bisa terjadi selama musik berlangsung. Melalui lirik, tingkah para pemusik, gaya vokalisnya ataupun interaktif dengan penonton. Musik disini bersifat ilustrasi, soundtrack maupun penanda pergantian adegan dan petunjuk waktu.

Penonton sebagai Relasi Sosial – Ekonomi

Situasi sosial politik kita sedang memanas. Begitu teriknya sehingga mudah terbakar amarah yang disulut dari emosi apapun. Isu yang bergulir bagaikan bisul yang mudah pecah kemudian menjalar kemana-kemana dan menular. Sedang bergejolak apakah bangsa ini ? Televisi kita sementara masih sibuk dengan berita pesta pemilu sebentar lagi. Bursa caleg pun tidak lagi analog tapi merambah dunia digital. Itulah salah satu gambaran keramaian dan hiruk pikuk kota.

Gedung pertunjukan masih terlihat sepi. Tak ada pementasan di sana. Sekumpulan orang-orang panggung sedang istirahat dari teriakannya.  Sedang bergumam apakah yang akan dikerjakan untuk menyambut pemilu berikut hasilnya. Sementara desa-desa juga merindukan tontonan. Massa desa sudah menunggu. Teater kapan kowe pentas neng ndesaku ?

Sebenarnya pilihan tempat pementasan KSG tetap seperti pada awal gagasan. Antara lain desa dan kampung-kampung kota. Akhirnya Perkampungan ditengah kota menjadi rumah pilihan bagi KSG untuk mengadakan pementasan. Rumah yang tidak sekedar boleh dikunjungi tapi boleh juga diakrabi. Rumah yang nanti kita menciptakan peristiwa teater bersama-sama. Persitiwa kebudayaan dengan melibatkan unsur apa saja dan siapa saja. Peristiwa dan perjumpaan diluar rumah yang hangat dan  penuh kekeluargaan.

Pementasan selama ini dilakukan dengan membidik segmentasi penonton yang sangat fleksibel dari berbagai macam kalangan. KSG tidak ingin mengkotak-kan penonton, justru usaha yang selalu dilakukan adalah bagaimana sebuah pertunujukan teater itu menghibur, namun tetap interaktif, komunikatif dan representatif. Maka untuk mencapai target tersebut kami sengaja untuk tidak mementaskan di gedung-gedung pertunjukan yang sudah baku atau konvensional (prosceneum). Justru pemanggungan akan dilakukan di desa-desa maupun kampung-kampung kota. Maksudnya di sini ingin memberikan tawaran baru dengan bentuk pementasan teater lingkungan. Teater yang belajar peka terhadap lingkungan sosialnya. Bagaimana teater merespon dan bersinergi dengan lingkungan, baik tempat, atmosfir maupun penonton. KSG tidak ingin menunggu penonton yang mencari pertunjukan tapi kami akan ”mencari dan menghadang penonton”. Di situlah pengertian dari kenapa kami mementaskan di beberapa tempat yang sebenarnya bukan standar gedung pertunjukan teater.

KSG ingin Pertama, menyuguhkan dengan format ”teater yang ingin menghibur” itu saja. Tidak lagi teater yang akan mengkhotbahi dan mengajak penonton berpikir secara khusuk, kemudian harus menemukan kesimpulan mufakat antara pelaku teater dengan penontonnya. Kedua, menggeliatkan kembali pementasan teater bahasa Jawa yang tergolong langka. Ketiga, memprovokasi grup-grup teater lainnya untuk rajin memproduksi atau reproduksi tontonan teater yang berbasis kerakyatan di kampung-kampung kota dan desa. Dengan harapan massa desa dan kampung ikut terprovokasi untuk menciptakan serta mendirikan komunitas hiburan mereka secara mandiri. Keempat, mengajak masyarakat untuk kembali bisa mengapresiasi kebudayaan lokal Jawa melalui teater. Kelima, memberikan tawaran alternatif bentuk tontonan teater modern berbahasa Jawa dengan idiom lokal. Meskipun lokal identik dengan ndeso. Tetapi lokalitas Jawa yang diambil KSG disini adalah semangat. Membangun relasi sedemikian karib sekaligus intim bersama massa teater urban.

Epilog

Mungkin terlalu nggedabyah tulisan ini. Tapi inilah Komunitas Sego Gurih. Yang tak lain mampu membuat pementasan dimanapun bentuk panggungnya. Kami bukan kelompok teater pingitan yang harus panggung prosceneum. Kami bisa mandiri tanpa stage konvensional. Kami tidak menunggu penonton mencari, tetapi kami mau menghadang penonton. Kami akan bikin sebuah keramaian pasar tiban dengan teater. Di desa, di kampung dan di pinggiran kota urban ini (Jogjakarta). Inilah relasi secara kultural yang sedang kami lakukan. Relasi tanpa memandang perbedaan golongan apapun. Massa teater – massa kota – massa desa adalah penonton sekaligus relasi, merekalah pasar yang sesungguhnya. Teater bahasa Jawa biarlah menjalin kekeluargaan bersama penonton. Berbagi sesuatu yang adil dan spiritual. Sama rata – sama rasa. Dan kedaulatan demokratis sebuah peritiwa tontonan pun tak ketinggalan. Kembali kepada yang lokal sebagai bekal semangat untuk menghadapi isu-isu kontemporer dewasa ini.

Elyandra Widharta, Tulisan ini menjadi pengantar ketika Sego Gurih memproduksi lakon “KUP” karya Wage Daksinarga Februari 2009, akhirnya pun Sego Gurih dinyatakan gagal seleksi di Festival Teater Jogja 2009. Tetapi total melakukan pertunjukan KUP keliling sampai 6 kali.